oleh

Tokoh dan Ulama Besar Tarekat di Banten

Banten dikenal sebagai daerah yang banyak melahirkan para ulama. Salah satu ulama yang lahir dari tanah Banten adalah Syaikh Abdul Karim al-Bantani, Beliau merupakan seorang ulama besar yang menjadi Kholifah Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Makkah Al-Mukarramah.

Syaikh Abdul Karim Al Bantani lahir di Desa Lempuyangan, Kecamatan Tanara Kabupaten Serang – Banten. Pada tahun 1250 Hijriyah/1850 Masehi.

Menurut KH. Thobari Syadzili al-Bantani, Wakil Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama’ (LDNU) menyebutkan bahwa Syaikh Abdul Karim masih saudara sepupu dengan Syaikh Nawawi al-Bantani.

Kedua Ulama besar tersebut merupakan keturunan Maulana Sunyararas yang masih keturunan Maulana Hasanuddin bin Syarif Hidayatullah atau dikenal dengan Sunan Gunung Jati.

Berdasarkan silsilah, Syaikh Abdul Karim adalah putra dari Mas Tanda bin Ki Mas Riyani bin Ki Mas Ahmad Matin bin Mas Ali bin Ki Mas Bugel bin Ki Mas Jamad bin Ki Mas janta Tubagus Mahmud alias (Mas Kun) bin Pangeran Wiranegara (Mas Wi) bin Pangeran Sunyararas bin Sultan Maulana Hasanuddin bin Syarif Hidayatullah.

Syarif Hidayatullah bin Syarif Abdullah (suami Syarifah Mudaim atau Rara Santang putri Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi) bin Ali Nurul Alam bin Jamaluddin Al-Husein al-Husaini bin Syaikh Jalaludin Khan bin Amir Abdullah Khan bin Abdul Malik Adzmatkhan bin Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath bin Alwi bin Muhammad bin Ali Khali’ Qasam bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa Al-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Zainal Abidin bin Husein bin Fatimah Al-Zahra’ binti Rasulullah Muhammad SAW.

Sejak kecil Syaikh Abdul Karim melakukan rihlah menuntut ilmu ke Kota Mekah. Disana beliau belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas (w. 1878) tentang ajaran tasawwuf dan amaliah tarekat.

Syaikh Ahmad Khotib Sambas yang berasal dari Sambas, Kalimantan Barat, Saat itu sudah menjadi pengajar di Masjidil Haram, sekaligus pendiri Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Atas bimbingan Syaikh Ahmad Khatib Sambas ini, Syaikh Abdul Karim mumpuni di bidang ilmu tasawuf, dan diangkat sebagai salah satu khalifahnya.

Saat bermukim di Makkah, Syaikh Abdul Karim juga menjalin hubungan dengan ulama terkemuka dari Nusantara lainnya seperti Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1897) Syaikhona Muhammad Kholil al-Bangkalani (w. 1925), Syaikh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi (w. 1920) dan lain-lain. Para thullab (pelajar) dari Nusantara tersebut terhimpun dalam komunitas al-Jawi al-Makki.

Komunitas tersebut tidak hanya kontek orang Jawi namun juga wilayah Asia Tenggara seperti al-Fathoni (Pattani, Thailand Selatan), al-Kalantani (Kelantan, Malaysia), al-Falimbani (Palembang), al-Barmawi (Birma) dan lain-lain.

Selain menuntut ilmu agama kepada masyayikh terkemuka di Makkah mereka membangun jaringan yang kelak akan diteruskan oleh murid-muridnya dalam perjuangan mendakwah Islam di Nusantara dan melawan Penjajahan Belanda yang berawal di Perairan Banten.

Baca Juga  Para Intelektual NU Jawa Timur Menilai, Umat Islam Ditakuti dengan HTI, Wahabi, dan Radikalisme

Berikut sanad Thariqah Qodiriyyah wan Naqsabandiyyah yang disadur dari kitab Uquudul Jumaan terbitan Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya

Allah SWT

Malaikat Jibril AS

Rasulullah Muhammad S.a.w.

Sayyidina Ali Bin Abi Thalib

Sayyid Husain

Sayyid Zainul Abidin

Sayyid Muhammad al- Baaqir

Sayyid Ja’farus Shoodiq r.a.

Sayyid Imam Musa Al-Kadzim

Syaikh Abul Hasan ‘Ali bin Musa

Syaikh Ma’ruf al-Karkhi

Syaikh Sirris Saqothii r.a.

Syaikh Abul Qosim Al-Junaid Al-Baghdadi

Syaikh Abu Bakrin Dilfis Syibli

Syaikh Abul Fadli Ao’abdul Wahid at Tamimi

Syaikh Abdul Faroj at Thurthusi

Syaikh Abul Hasan ‘Ali bin Yusuf al Qirsyi al Hakari

Syaikh Abu Sa’id al Mubarok bin ‘Alii al Makhzumi

Syaikh ‘Abdul Qodir Al-Jilani

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz

Syaikh Muhammad Al Hattak

Syaikh Syamsuddin

Syaikh Syarofuddiin

Syaikh Nuuruddiin

Syaikh Waliyuddiin

Syaikh Hisyaamuddiin

Syaikh Yahya

Syaikh Abu Bakrin

Syaikh ‘Abdul Rahim

Syaikh ‘Utsman

Syaikh ‘Abdul Fattah

Syaikh Muhammad Murod

Syaikh Syamsuddiin

Syaikh Ahmad Khotib Sambasi Ibnu ‘Abdul Ghoffar

Syaikh Tholhah Kali Sapu Cirebon dan Syaikh Abdul Karim al-Bantani

Syaikh ‘Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh) Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya.

Syaikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom Suryalaya)

Selanjutnya Syaikh Ahmad Khotib Sambas mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Indonesia. Selain Syaikh Abdul Karim, Syaikh Ahmad Khatib Sambas juga mengangkat beberapa khalifah untuk menyebarkan tarekatnya ke Nusantara, seperti : Syaikh Tholhah bin Tholabuddin, Kalisepu, Cirebon (w. 1935 H) dan Syaikh Ahmad Hasbullah al-Maduri, Madura, Muhammad Isma’il Ibn Abdul Rahim dari Bali, Syaikh Yasin dari Kedah Malaysia, Syaikh Haji Ahmad dari Lampung dan Syaikh Muhammad Makruf Ibn Abdullah al-Khatib dari Palembang, Syaikh Nuruddin dari Filipina dan Syaikh Muhammad Sa’ad dari Sambas.

Syaikh Nawawi al-Bantani juga dikatakan berbai’at tarekat Qodiriyyah wan Naqsabandiyyah kepada Syekh Khotib Sambas, Syaikhona Kholil Bangkalan. Namun beliau berdua tidak menyebarkannya tarekat tersebut. Meski begitu kedua ulama besar ini melahirkan ulama besar di Nusantara seperti KH. Hasyim Asy’ari (w. 1947), KH. Wahab Hasbullah(w. 1971), KH. Bisri Syansuri (w. 1980) dan ulama besar lain yang mendirikan Jamiyyah Nahdlatul Ulama’ (NU) pada 31 Januari 1926.

Selanjutnya Thariqah Qadiriyyah wan Naqsabandiyyah disebar oleh murid-murid dari ketiga tokoh diatas di Tanah Jawa.

Dalam buku Perjalanan Sejarah Ponpes Suryalaya R.H. Unang Sunardjo, menyebutkan bahwa Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (w. 1956) yang belajar kepada Syaikh Tolhah bin Tholabuddin Kalisapu, Trusmi, Cirebon, yang masih terhitung keturunan dari Sunan Gunung Jati.

Syaikh Abdullah Mubarok selanjutnya membangun Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya pada 1905 sebagai pusat penyebaran Thariqah Qodiriyyah wan Naqsabandiyyah. Setelah wafat, kedudukan sebagai mursyid digantikan oleh putranya Syaikh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin (w. 2011) atau akrab disapa Abah Anom

Baca Juga  Tokoh Inspiratif SMSI: Adam Malik, PK Ojong-Jakob Oetama, Hamka, Fachrodin

Dari jaringan Syaikh Abdul Karim juga menurunkan murid yang terus yang menyebarkan tarekat Qodiriyyah wan Naqsabandiyyah. Syaikh Ibrahim Yahya (w. 1987) Brumbung, Mranggen Demak terhubung dengan jaringan murid Syaikh Abdul Karim. Darinya Syaikh Ibrahim menurunkan tarekat kepada KH. Abdurrahman Mranggen (w. 1941) yang diteruskan putranya, KH. Muslih Abdurrahman Mranggen Demak, KH. Muslih Abdurrahman(w. 1981) Mranggen penulis kitab “al-Futuhât al-Rabbiyyah fî al-Tharîqah al-Qâdiriyyah wa al-Naqsyabandiyyah”. KH. Muhammad Yahya (w. 1971) Pendiri Pondok Pesantren Miftahul Huda, Gading, Malang dalam kitabnya Miftahul Jannah juga menyebutkan Syaikh Ibrahim Brumbung dalam sanad thariqahnya.

Dalam catatan Snouck Hourgenje saat masuk ke Makkah tahun 1885 juga disebutkan bahwa setelah beberapa tahun bermulazamah kepada Syekh Khotib Sambas, gurunya tersebut memberikan ijazah pengajaran tarekat Qodiriyyah wan Naqsabandiyyah kepada Syaikh Abdul Karim sekitar tahun 1282 H/1865 M.

Selanjutnya Syaikh Abdul Karim berangkat menuju Singapura untuk menyebarkan ilmu agama sekaligus mengajarkan ilmu. Beliau menetap disana selama tiga tahun.

Menjelang tahun 1860-an, Syaikh Abdul Karim pulang kembali ke tanah kelahirannya pada umur sekitar 20 tahun dan menetap disana selama beberapa tahun.

Selama bermukim di Banten, beliau berdakwah sembari menyebarkan tarekat Qodiriyyah wan Naqsabandiyyah. Murid-muridnya tersebar di berbagai pelosok Banten dan daerah lain.

Diantara murid-muridnya adalah Tubagus Muhammad Falak (w. 1972) atau Mama Falak Pandeglang yang kemudian mendirikan Pondok Pesantren di Pagentongan, Bogor, dan melanjutkan penyebaran Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.

Selain Mama Falak murid beliau yang masyhur adalah KH. Asnawi Caringin (w. 1937) yang menyebarkan tarekat Qodiriyyah wan Naqsabandiyyah di Caringin, Labuan, Pandeglang, Banten.

Para pejabat pemerintah juga menghormatinya, karena Syaikh Abdul Karim telah menjadi tokoh terkenal, karismatik, dan oleh masyarakat disebut sebagai Kiai Agung.

Pada saat beliau tinggal di Banten ini, kondisi sosial masyarakat tengah terhimpit oleh pemerintah kolonial, utamanya di kalangan petani. Semangat melawan penjajahan tersebut telah lama muncul di kalangan masyarakat, hingga sebagian murid-murid dan tokoh-tokoh di Banten ingin melakukan perlawanan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Syaikh Abdul Karim ini dalam setiap kajian, ceramah, dan khotbah-khotbahnya selalu menggelorakan semangat jihad fi sabilillah untuk melawan penjajahan Belanda yang telah banyak merugikan rakyat Banten. Faktor itulah yang beliau yang membuat gerak-geriknya selalu diawasi oleh Pemerintah Hindia Belanda di Banten. Bahkan gerakan dakwah beliau semakin dipersempit dan sering dihalangi.

Beberapa muridnya berperan dalam peristiwa Geger Cilegon tahun 1888. Dalam perlawanan tersebut murid Syaikh Abdul Karim seperti Kyai Haji Ismail, Haji Wasyid, dan Haji Marzuki dan lain-lain. Mereka berjuang melepas penindasan Rakyat Banten yang telah lama dirasakan. Terlebih sebelumnya Banten dilanda bencana alam dahsyat dengan meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda.

Baca Juga  Sinergy Gym Beri Tips Agar Tubuh Sehat dan Sempurna

Darusssalam Jagad Syahdana dalam catatannya bertajuk Haji Abdul Karim, Sang Mahdi Pemantik Revolusi di Banten menyebutkan Peristiwa Revolusi Petani Banten terjadi pada Senin pagi, 9 Juli 1888. Peristiwa tersebut dilatari dua hal. Pertama, dampak letusan Gunung Karakatau di Selat Sunda (23 Agustus 1883) menimbulkan gelombang laut yang menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, Sirih, Pasauran, Tajur, dan Carita. Selain itu musibah kelaparan, penyakit sampar (pes), penyakit binatang ternak (kuku kerbau) membuat penderitaan rakyat menjadi-jadi.

Syaikh Abdul Karim disebut sebagai salah satu di antara tiga kiai utama yang memegang peranan penting dalam pemberontakan rakyat Banten di Cilegon tersebut. Dua tokoh kunci lainnya adalah Haji Wasyid dan Tubagus Ismail.

Banyak ulama yang mendukungnya seperti Haji Iskak dari Saneja, Haji Usman dari Tunggak, selain kiai-kiai seperguruannya seperti Haji Abu Bakar, Haji Sangadeli dan Haji Asnawi. Untuk mewujudkan rencana pemberontakan tersebut rapat pertama diadakan pada tahun 1884 di kediaman Haji Wasid.

Syekh Abdul Karim memang tidak terlibat secara langsung pemberontakan yang meletus selama 12 tahun. Hal ini dikarenakan sebelum pemberontakan benar-benar pecah di Banten tahun 1888, Syekh Abdul Karim kembali ke Mekkah pada tanggal 13 Februari 1876, setahun setelah meninggalnya gurunya, Syaikh Ahmad Khotib Sambas. Beliau menggantikan posisi gurunya sebagai Kholifah Qodiriyyah wan Naqsabandiyyah di Makkah al-Mukarramah.

Meski berada Mekah, beliau terus menjalin komunikasi dengan murid-murid dan pengikutnya. Perintah untuk melakukan jihad atau perang suci melawan kolonial Belanda tetap digelorakannya, meski harus berjarak cukup jauh dari tanah kelahirannya.

Selain mengajarkan tarekat, Syekh Abdul Karim juga meninggalkan sebuah kitab berjudul “Risâlah Silsilah al-Tharîqatain al-Qâdiriyyah wa al-Naqsyabandiyyah” yang ditulis bersama Syaikh Ibrahim Brumbung (Mranggen, Demak, Jawa Tengah).

Kitab ini merupakan kelanjutan dari Kitab Fathul Arifin yang merupakah notulensi dari ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh salah seorang murid Syaikh Ahmad Khotib Sambas lainnya yakni Syaikh Muhammad Ismail bin Abdurrahim. Notulensi ini dibukukan di Makkah pada tahun 1295 H. Kitab ini memuat tentang tata cara, baiat, talqin, zikir, muqarobah dan silsilah Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.

Hingga akhir hayatnya, dia tinggal di Mekkah dan memimpin tarekat ini, tetapi angka tahunnya tidak diketahui pasti. Sepeninggal Abdul Karim, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tidak memiliki pemimpin tunggal dan hanya menjadi kelompok tarekat dengan kepemimpinan lokal, Meski begitu hingga sekarang memiliki pengikutnya berjumlah sangat besar di wilayah Banten dan sekitarnya.

Sumber : wikipedia, dokumen TQN suryalaya.

News Feed