Oleh: Rosyidah Izza
Sabtu pagi 10 April 2021, selepas menunaikan shalat subuh, saya langsung berkemas-kemas, mengepak pakaian dan perlengkapan lainnya untuk keperluan menginap selama satu malam.
Hari itu saya berniat mengikuti pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan oleh organisasi Perkumpulan Urang Banten (PUB) Pusat. Sedang kapasitas saya sendiri adalah mewakili PUB Kabupaten Pandeglang.
Sedianya kegiatan diselenggarakan 9 – 11 April 2021, namun karena satu dan lain hal saya hanya bisa mengikuti acara dari hari ke-2 saja.
Kegiatan pelatihan dipusatkan di Journalist Boarding School (JBS) yg berlokasi di Lingkar Selatan Kota Cilegon. Sebuah lembaga yg memang diperuntukkan bagi penyelenggaraan pelatihan jurnalistik atau kewartawanan.
Pada awalnya saya sempat gamang, karena ada agenda lain yang juga tidak kalah penting yang menuntut diselesaikan di hari yang sama selain kegiatan pelatihan jurnalistik ini. Tapi entah kenapa hati saya lebih cenderung memilih ikut pelatihan.
Walhasil dengan terpaksa saya harus mengabaikan dan memutuskan untuk tidak menyelesaikan proposal penelitian yang sedang saya garap yang juga deadline di hari itu.
Padahal jika hitung-hitungan value, mungkin seharusnya saya memilih menyelesaikan proposal dan mengirimkannya ke Litapdimas karena untuk memenuhi laporan Tridarma Perguruan Tinggi dan dari sisi penghasilan bisa menambah pundi-pundi rupiah saya.
Tapi ya sudahlah, tidak mengapa, saya rela. Saya tetapkan hati untuk tetap memilih pelatihan. Toh kata guru ngaji saya jika rizki tidak akan kemana.
Namun sebenarnya bukan tanpa alasan kuat kenapa akhirnya saya lebih memilih opsi pelatihan. Pertama, kajian jurnalistik beririsan dengan garapan saya di kepengurusan PUB Pandeglang, karena kebetulan saya diamanahi untuk menggawangi bidang Kominfo yang tentu saja sangat erat kaitannya dengan urusan seputar informasi.
Kedua, saya berpikir pelatihan ini bersifat insidental alias tidak rutin. Jadi tidak tahu kapan lagi adanya pelatihan jurnalistik dengan narasumber langsung para jurnalis senior di Banten apalagi tanpa harus saya yang membayar.
Terakhir dan ini yang paling penting sebenarnya, ada sebuah mimpi yg selama ini dan sampai saat ini masih bersemayam dalam diri saya. Mimpi menjadi seorang jurnalis.
Sebuah mimpi yang didasari karena kegemaran saya terhadap dunia kepenulisan sebagai sarana untuk menuangkan ide dan gagasan dalam memaknai berbagai fenomena dalam kehidupan.
Ketiga alasan di atas menjadikan saya bersikukuh memilih opsi ini. Selesai berkemas, jam 8.00 WIB saya berdua dengan seorang teman, teh Ida JF, bertolak dari Pandeglang menuju ke Journalist Boarding School (JBS) di Cilegon dengan hanya berbekal rundown acara yang dikirim via Whatsapp oleh panitia.
Singkat cerita kami pun sampai di lokasi pelatihan sekitar jam 10 pagi WIB, setelah sebelumnya kami hampir saja nyasar.
Untung saja dipandu oleh kang Revi, mahasiswa saya dan juga kebetulan menjadi peserta kegiatan. Kami juga menggunakan google maps sebenarnya, tapi ternyata kecanggihan teknologi tidak selamanya bisa membantu dan menjawab kebutuhan manusia.
Kami malah dibawa berputar-putar terlebih dahulu sebelum akhirnya mendekati titik tujuan. Itulah teknologi ibarat dua sisi mata uang. Suatu saat terkadang menolong dan menunjukkan jalan, namun di saat yang lain malah membingungkan dan menyesatkan.
Pada awalnya, mendengar kata boarding di benak saya langsung terbayang sebuah bangunan yg digunakan oleh para peserta didik dalam menempuh pendidikan non formal sebagai materi tambahan wajib di sekolah mirip pesantren yang tidak terlalu representatif.
Namun setibanya di lokasi, ternyata JBS berupa bangunan permanen lantai 2 yang cukup representatif menurut saya.
Di sekelilingnya masih ada areal yang lumayan hijau. Sejenak mata saya dimanjakan pemandangan yg cukup menyejukkan hati di tengah terik matahari Cilegon yg membuat orang memicingkan mata.
Selanjutnya kami masuk ruangan acara, yang ternyata cukup privacy. Saya katakan privacy karena ruangannya lebih mirip ruang kerja, tidak terlalu luas hanya berdiameter sekitar 4×4 M2. Untung saja saya selalu mengenakan masker, sehingga saya merasa tetap nyaman dan tenang selama mengikuti pelatihan meski di ruangan yang tidak besar.
Ruangan ini juga dilengkapi toilet dan juga pendingin udara atau AC. Tapi sepertinya pendingin udaranya sedang bermasalah, sehingga fungsinya digantikan oleh sebuah kipas angin sebagai penyejuk ruangan.
Sengaja sepertinya panitia merancang dan menempatkan kami di ruangan berukuran seperti itu mengingat jumlah peserta yang juga tidak terlalu banyak. Tapi saya menganggap itu sesuatu yang bagus. Karena kegiatan pelatihan bisa berjalan efektif dan kondusif.
Saat kami masuk sedang berlangsung sesi ke 2. Artinya kami ketinggalan 1 sesi. Tak apalah. Yang menjadi narsum adalah bapak Media Sucahya (MS) dari Biem.co. Sebenarnya namanya cukup familiar buat saya, dan saya bersyukur karena hari itu saya berkesempatan bertemu langsung dan mendapat ilmu dari beliau.
Selesai materi bapak MS, kami rehat untuk makan dan solat. Panitia sudah menyiapkan nasi Padang untuk santap siang peserta. Selesai makan, solat duhur dan beristirahat sejenak, pelatihan dilanjutkan dengan sesi selanjutnya yaitu praktik turun ke lapangan untuk belajar wawancara sekaligus mendokumentasikannya dalam bentuk video disertai narasi. “..Ok, jadi kita mulai investigasi nih…” celoteh saya saat kami akan keluar untuk melakukan wawancara lapangan.
Ini sesi paling mendebarkan buat saya. Kami pun ke lapangan. Panas terik matahari Cilegon yang cukup ekstrim tak menyurutkan langkah kami melakukan perburuan. Tapi jangan salah kami juga sudah menyiapkan amunisi berupa tabir surya di wajah untuk meminimalisir efek buruk sinar UV.
Sehingga kami tetap nyaman tanpa kuatir kulit wajah kami gosong sepulang dari Cilegon. Target pertama operasi kami adalah pedagang sendal yang kami jumpai di jalan sekitaran Lingkar Selatan. Supaya operasi kami berjalan lancar, kami pasang strategi dengan berjanji membeli dagangannya karena semula si Abang sandal sepertinya agak berkeberatan. Tetapi setelah diiming-imingi dagangannya akan dibeli, mau juga akhirnya bang Indra (demikian sehari-hari dia biasa disapa) diwawancara.
Tema wawancara tentu saja seputar aktifitas dia berjualan sandal, terkait keuntungan berjualan dll. Selesai wawancara tentu saja kami harus membeli sandalnya sesuai dengan akad di awal.
Untung saja harga sendalnya murah. Hanya 5 ribu rupiah saja perpasang. Sukses wawancara dengan bang Indra, kami lanjutkan wawancara dengan mbak Anita(19). Dara berparas ayu asal Solo yg sehari-hari berprofesi sebagai penunggu kios bakso Wahyudi Wonogiri (WW) yang juga beroperasi di sekitaran Lingkar Selatan. Tema wawancara juga sama dengan target pertama.
Di sela-sela wawancara si mbak nampak sibuk membetulkan letak jilbabnya dan sesekali menggiling lengan bajunya ke atas siku.
Menurut penuturan mba Anita, bahwa dia adalah karyawan tantenya yg memiliki 11 cabang kios baso “WW”, dengan omset bersih perhari sekitar 1 juta perkios. Ups, mantap jiwaah.
Saya membayangkan keuntungan bersih rata-rata (1 jutax11 kios = 11 juta × 30 hari=….) Anda bisa hitung sendiri berapa penghasilan tantenya mbak Anita ini.
Kami juga tidak lupa merekam dan juga mencatat semua proses wawancara. Setelah dianggap cukup, kami menyudahi sesi ini sekitar jam 15. 00 dan kami pun kembali ke tempat pelatihan untuk istirahat.
Selanjutnya di jam 16.30 peserta dipandu oleh kang Dede dengan konten materi seputar editing video. Di sesi ini kami dikenalkan dengan teknik bagaimana merancang pendokumentasian video dengan benar disertai beberapa trik agar video yg dihasilkan bisa benar- benar optimal dari sisi kualitas gambar dan juga audionya.
Hanya saja rata-rata peserta tidak membawa laptop. Jadi tidak bisa langsung praktik editing. Sesi malam merupakan sesi terakhir. Pemberian materi dimulai pada jam 19.30 dengan narasumber bapak Nana Amdan dari media Jawa Post yang berbicara terkait pembuatan feature dan juga pemanfaatan medsos sabagai ajang berkreasi menuangkan ide dan pemikiran berupa tulisan.
Sangat menarik pemaparan dari bapak Nana Amdan, terutama yang terkait dengan feature. Saya teringat dengan beberapa hasil corat coret di menu catatan ponsel pintar Samsung kesayangan saya. Sepertinya itu lebih cenderung ke genre feature sebagimana yg dijelaskan oleh baoak Nana.
Tapi entahlah, mungkin perlu dicek dan ricek dan diedit sana sini, agar coretan yg saya buat betul- betul berbentuk feature baik dari segi aturan maupun konten. Selesai sesi malam pada jam 21.45. Selanjutnya kegiatan ditutup pada pukul 22.30 oleh bapak Firdaus selaku Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) yang beberapa waktu lalu juga sempat menjabat sebagai ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebuah organisasi induk dunia kewartawanan di tanah air untuk provinsi Banten selama dua periode.
Di akhir penutupan beliau juga memberikan refleksi bagi para peserta, terkait maksud dan tujuan diselenggarakannya pelatihan jurnalistik tersebut, harapan dan juga follow up yang mungkin bisa dikembangkan ke depan pasca pelatihan dan lain sebagainya.
Beliau juga sangat mensupport kami untuk segera aktif melakukan kegiatan jurnalisme utamanya dalam menyuarakan PUB baik di daerah maupun pusat.
Jam 23.30 acara penutupan selesai dilanjutkan dengan foto bersama untuk pengambilan dokumentasi. Istirahat. Besok paginya, Ahad 11 April 2021 setelah mandi dan sarapan pagi, beres-beres tempat tidur, kamipun bersiap pulang.
Sebelumnya kami berpamitan dengan bapak Firdaus dan juga sempet beramah tamah dengan beliau. Sedikit berbagi pengalaman di dunia kerja termasuk jurnalistik. Jam 9.00 kami keluar dari Pusdiklat JBS untuk bertolak ke Pandeglang. Pulang.
Jika ditanya bagaimana perasaan saya selama mengikuti kegiatan ini, tentu saja saya merasa sangat senang sekali. Hanya sayangnya buat saya pribadi masih sangat kurang ilmu yang saya dapatkan. Tapi ini menjadikan saya harus terus banyak belajar lagi, menggali khazanah jurnalisme. Meskipun begitu saya sangat bersyukur karena bisa bertemu langsung dan berinteraksi, menimba ilmu dan berbagi pengalaman dengan para ekspert, praktisi yang sudah malang melintang di dunia jurnalisme dan sudah barang tentu sangat banyak makan asam garam, suka duka yang dialami mereka di belantara jurnalisme.
Sangat mengesankan, itu saja sih. Selanjutnya buat saya sendiri, seperti merasa ada sepotong mimpi yang bertahun-tahun sempat tertunda yg kini tiba-tiba hadir lagi dan seolah menyala kembali mengetuk ngetuk nurani saya.
Menjadi jurnalis adalah mimpi saya sejak dulu. Mengamati dan merenungi berbagai objek dan fenomena dalam kehidupan, menemukan makna dan juga ide dan lalu berusaha menuangkan ide tersebut melalui rangkaian kata dan kalimat adalah hobi saya dan merupakan kenikmatan tersendiri buat saya.
Akhirnya saya ingin bilang dengan mengikuti pelatihan jurnalistik ini dan menjadi alumni JBS ini saya hanya berharap pintu gerbang menuju impian bisa terbuka lebar, sehingga apa yang menjadi mimpi saya yang selama ini sempat tertunda bisa terwujud dengan berkiprah dan berkontribusi dalam pergulatan heroik dunia jurnalisme.
Bisakah? Entah. Yang pastinya setahu saya semua harus berawal dari sebuah mimpi. Wallahu A’lam.
**Penulis adalah seorang perempuan yang berhasrat menjadi jurnalis lepas, saat ini sedang belajar cara menulis feature yang baik**