Oleh: Dr. Huriyudin, Staf Peneliti Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
Secara pribadi saya tak pernah membayangkan Prof. Dr. Saiful Mujani MA bersedia dan terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (PBMA) pada Muktamar yang akan berlangsung di Bogor Jawa Barat tanggal 1 – 3 April 2021.
Bukan karena ke-Mathla’ul Anwar-annya diragukan, tetapi lebih karena wadah organisasi sosial kemasyarakatan yang berdiri pada 1916 itu belum tentu sepenuhnya cocok dengan pemikirannya yang menjangkau spektrum luas dan sebagiannya tidak menjadi wilayah pengabdian institusi tersebut.
Meski studi awalnya (Ibtidaiyah dan Tsanawiyah) dilakukan di Mathla’ul Anwar yang berada di kampung halamannya di Kepuh, Serang Banten, ikatan emosionalnya sejak kuliah di Ciputat secara sosial dan kultural seperti merenggang.
Buktinya, tidak banyak kalangan yang tahu kalau Saiful itu “orang Mathla’ul Anwar” dan tidak ada satu pun catatan ia terlibat dalam kepengurusan di lingkungan Ormas tersebut, baik di pusat, wilayah, maupun cabang.
Selain itu, sebagai seorang pemikir, peneliti, dan penulis produktif, bahkan tidak ada satupun tulisan yang pernah dibuatnya terkait dengan Ormas Islam yang didirikan lebih dari satu abad yang lalu oleh KH E Mohammad Yasin, KH Tb Mohammad Sholeh, dan KH Mas Abdurrahman di daerah Menes, Pandeglang Banten itu.
Bahwa hasilnya kini ia menjadi salah satu pemikir terkemuka di Indonesia, hampir bisa dipastikan bukan karena jasa dan peran Mathla’ul Anwar, tetapi karena persentuhannya yang intens dengan berbagai pemikiran dan kelembagaan di luar.
Karena itu, bila saat ini ia termasuk salah satu tokoh nasional yang digadang-gadang menjadi orang nomor satu di organisasi yang berdiri di Menes Banten itu, tentu lebih karena Mathla’ul Anwar membutuhkannya.
Karir Intelektual
Bahwa saya mempertanyakan kemungkinan tokoh yang dikenal sebagai “Bapak Quick Count” Indonesia dengan seabreg penghargaan itu menjadi orang nomor satu di Mathla’ul Anwar, bukan karena ia tidak layak.
Tidak ada satupun yang meragukan kemampuan doktor lulusan terbaik di salah satu universitas bergengsi di Amerika itu. Ia kerap mengisi berbagai event seminar nasional dan internasional, dan wajahnya kerap menghiasi berbagai media di tanah air.
Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai jurnal nasional dan internasional, dan memberikan pengaruh sangat besar dalam wacana keilmuan kontemporer, terlebih dalam kajiannya tentang perilaku politik, demokrasi, dan moderasi. Dengan demikian, Saiful lebih populer sebagai pemikir dan cendekiawan ketimbang aktivis organisasi.
Bahkan, sepanjang karir kemahasiswaannya di IAIN (kini UIN) Ciputat, ia hampir tak bisa disebut sebagai aktivis organisasi, meski waktu kuliah di Jurusan Filsafat dan Teologi Fakultas Ushuluddin tercatat sebagai anggota HMI Cabang Ciputat.
Selain dari itu, karena orang Banten, ia juga diklaim sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Banten (HMB). Kalau mau ditambahkan aktivitasnya di lembaga swadaya masyarakat, ketika mahasiswa, Saiful juga pernah aktif di Himpunan untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (HP2M).
HP2M itu sendiri adalah lembaga yang digagas para senior Ciputat seperti Fachry Ali, Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, Kurniawan Zulkarnain, Ahmad Rifa’i Hasan, Ahmad Zaky Siradj, dan kelompok muda Ciputat lainnya di bawah asistensi Cak Nur (Nurcholish Madjid) dan Mas Dawam (M Dawam Rahardjo).
Di lembaga itu pula M Babay Sujawandi (kini Ketua Umum Pengurus Wilayah Mathla’ul Anwar/PWMA Provinsi Banten) pernah aktif sebagai sekretaris eksekutif.
Tetapi, dalam berbagai aktivitas organisasi, Saiful seingat saya tidak pernah menjadi manajer yang mengatur organisasi dan mengelola administrasi. Tugasnya hanya “mikir” dan “nulis”, dalam hal ini terutama menyusun desain, menyiapkan konsep, dan mengelola forum diskusi.
Seingat saya, dia juga tak pernah berminat “nyalon” menjadi ketua senat di kampus atau ketua komisariat di organisasi ekstra universiter, apalagi cabang. Paling banter yang dilakukannya hanya mendorong teman yang dianggapnya kapabel untuk maju, lalu ikut mempengaruhi orang untuk memilihnya.
Kalaupun ada jejak organisasi, paling hanya tercatat di Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), kumpulan sedikit mahasiswa yang “doyan”-nya membaca buku serta membuat makalah dan berdiskusi. Kelompok studi inilah yang digagasnya bersama kawan segenerasinya.
Koleganya itu adalah Hendro Prasetyo (peneliti senior LSI dan dosen FISIP UIN Jakarta); Ihsan Ali-Fauzi (dosen Universitas Paramadina dan aktif sebagai mentor di beberapa lembaga kajian tentang moderasi dan deradikalisasi agama); Ali Munhanif (Guru Besar dan Dekan FISIP UIN Jakarta), dan beberapa kader lainnya.
Di Formaci itulah Saiful mempertajam kemampuan analisis dan minat akademiknya dalam bidang ilmu sosial dan filsafat, hingga diperhitungkan di kalangan cendekiawan pada usia yang masih sangat muda.
Bahkan, di akhir masa studinya di Ciputat, artikelnya mampu menembus benteng kokoh redaksi Prisma, salah satu jurnal nasional paling bergensi yang diterbitkan oleh LP3ES, Jakarta.
Meski orang filsafat, ia tidak suka debat spekulatif. Soal Tuhan, doktrin agama, mistisisme, spiritualisme, dan sejenisnya merupakan tema yang tak menarik baginya. Bagi Saiful, semua musti jelas: rasional, empirik, teruji, dan berbasis fakta.
Tulisan-tulisan abstrak dan spekulatifnya hanya bisa ditemui sampai pada beberapa tahun setelah selesai studinya di Ciputat, sebagaimana bisa dilihat dari berbagai artikel yang dimuatnya di Prisma (LP3ES, Jakarta) dan Ulumul Qur’an.
Artikel-artikelnya juga disiarkan Afkar (jurnal yang diterbitkan ICMI dan dikelola antara lain oleh Dewi Fortuna Anwar dan Ihsan Ali Fauzi) dan Jurnal Kalam (jurnal yang terbit di bawah asistensi M Dawam Rahardjo dan Nurcholish Madjid).
Bahkan, skripsinya tentang pemikiran filsafat ilmu pengetahuan Ismail Razi Alfaruqi tidak pernah lagi disentuhnya seiring dengan perubahan orientasi keilmuannya ke arah yang lebih empirik.
Di berbagai lembaga survey yang dibidaninya seperti LSI, saya kira dia tidak pernah menjadi manajer yang mengatur dan mengelola seluruh sistem organisasi perkantoran.
Ia hanya menyiapkan desain, blue print, merancang sebuah riset yang benar, dan tidak menyisakan bolong yang membuat hasilnya jebol secara akademik. Lalu, orang “dipaksa” untuk mengikuti alur pikir yang telah dirancangnya.
Karena hanya dengan cara itu riset ilmiah bisa bekerja dengan benar, teruji, objektif, dan kokoh. Bahkan di Saiful Mujani Research and Consultant (SMRC), lembaga survey papan atas yang didirikan dengan membubuhkan namanya, Saiul mengambil orang lain untuk mengelolanya.
Kurang lebih, dari situlah seorang Saiful lahir dan diperhitungkan orang. Dia kemudian dikenal sebagai Bapak Survey Nasional. Kita tahu, tak akan pernah ada Quick Qount di Indonesia tanpa Saiful Mujani. Secara akademik reputasinya tak perlu dipertanyakan lagi.
Saiful dan Mathla’ul Anwar mendatang
Kalaupun ada yang mempertanyakan, di mana kekurangan Saiful? Jawabnya sederhana: dia tidak punya kendaraan sosial-keagamaan untuk berkiprah mewujudkan obsesi sosial, keagamaan, keilmuan, pendidikan, kebudayaan, dan lain-lain.
Ini merupakan bagian tak terpisahkan dari komitmennya dalam membangun demokrasi, memperkuat civil society, mengokohkan semangat moderasi dan multikulturalisme serta kerelaan untuk hidup saling berbagi dan berdampingan dengan penuh semangat kemanusiaan bersama kelompok lain yang berbeda.
Bagi Saiful, kurang lebih, itulah Islam. Tak ada agama dan kewajiban keagamaan di akhirat. Dalam doktrin Islam, posisi manusia di akhirat hanya “memetik buah amal” yang “ditanamnya” di dunia. Siapa menabur angin (di dunia) akan menuai badai (di akhirat); siapa menanam kebaikan (di dunia) akan beroleh kebahagiaan (di akhirat).
Karena itu, agama (baca: Islam) menuntut manusia selama hidupnya di dunia untuk membangun hubungan yang baik dengan Tuhan (Hablumminallah) melalui ibadah mahdhah dan setia terhadap komitmen ketuhanan.
Di sisi lain harus dibangun hubungan yang baik dengan sesama umat manusia (Hablumminannas) melalui hubungan kemanusiaan tanpa membedakan ras, agama, suku, dan antar golongan serta mengelola alam tanpa membuat kerusakan di muka bumi (Hablumminal ‘alam).
Kurang lebih, inilah peran dan fungsi kekhalifahan manusia di bumi, dan misi profetik dari kenabian Muhammad SAW ini pula yang musti terus diusung dan diperjuangkan oleh umat melalui berbagai usaha, termasuk oleh Mathla’ul Anwar.
Pesan kenabian ini dibangun tidak lebih untuk kehidupan umat manusia agar bisa hidup selaras dengan hukum alam, saling peduli terhadap sesama, saling memanusiakan, dan hidup dalam kebersamaan yang utuh dalam satu bumi di atas landasan nilai ketuhanan yang padu dan berkeadaban.
Dalam upaya memperkokoh ikatan ketuhanan, Mathla’l Anwar menyelenggarakan dakwah, sementara untuk memperkuat ikatan kemanusiaan, Ormas tersebut memiliki usaha pemberdayaan sosial.
Sementara itu, agar mampu menjalankan fungsi dan peran kekhalifahan secara utuh dan menyeluruh, Mathla’ul Anwar mendirikan berbagai jalur dan jenjang pendidikan.
Pendidikan dibangun agar umat tidak terjebak ke dalam kubangan kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Sebab hanya manusia berilmu yang mampu menangkap dan membaca fenomena alam sebagai tanda-tanda zaman serta memberikan jalan untuk mengolahnya ke arah yang lebih baik.
Di sisi lain, khusus untuk membangun kepedulian dan kesejahteraan masyarakat, Mathla’ul Anwar perlu memperkokoh program ekonomi dan pemberdayaan umat.
Melalui wadah Mathla’ul Anwar pula ada tantangan untuk membuktikan kebenaran Islam dan kesejatian cita-cita organisasi bagi implementasi nilai-nilai agama dalam bingkai ketuhanan, kemanusiaan, dan keindonesiaan sebagai sumbangan bagi terbangunnya peradaban dunia yang relijius, humanis, dan berkeadilan.
Kurang lebih, itulah paradigma keislaman Saiful Mujani. Dus, kesalehan ritual itu penting, tapi tidak cukup. Tanpa dibarengi dengan kesalehan struktural dan kultural, kesalehan sosial hanya akan menjadi “fatamorgana”. Ibarat buah, itu hanya cangkang tanpa isi.
Senada dengan itu, berakrab-akrab dengan Allah melalui berbagai praktek ritual dan peribadatan sangat penting, tapi tak memiliki arti apa pun bila tidak dibarengi dengan membangun kebaikan kepada sesama. Ibarat shalat, praktek itu sama dengan takbir tanpa salam.
Lalu, cocokkah paradigma sosial keagamaan seperti ini untuk Mathla’ul Anwar masa depan? Kalau tidak, jangan ambil Saiful Mujani. (*)